Spread the love

Sudah dibaca 1457 kali

Ada beragam macam tarawih, baik dari jumlah rakaatnya maupun waktu mengucapkan salam. Namun semua tak masalah. Yang penting, dalam kacamata saya yang awam, shalat tarawih. Percuma berdebat soal ini kalau ujung-ujungnya tidak tarawih.

Di antara macam tarawih, pola yang bertahun-tahun saya ikuti adalah kebiasaan shalat tarawih di masjid dekat rumah saya. Jumlah rakaatnya plus witir 23 rakaat. Bacaannya secepat kilat. Gerakannya pun cepat.

Dulu, saat mengkritisi soal ini, saya agak jengkel. Kenapa shalat seperti orang kebelet? Bukankah gerakan cepat shalat pernah di kritik Nabi SAW bagai gerakan ayam mematuk? Apa bisa khusyuk dengan shalat seperti ini? Apa tidak lebih baik ritme shalatnya perlahan atau sedang-sedang saja?

Daripada gerendeng tidak jelas dan sama sekali sangat tidak berguna, cuma satu yang harus dilakukan: berdamai dengan kondisi yang ada. Jalani lalu kondisikan suasana yang awalnya tidak mengenakkan menjadi hal mengenakkan.

Gerakan shalat cepat tidak apa, asal bacaannya lengkap, tidak terpotong-potong. Gerakan cepat membuat tubuh mengeluarkan keringat, apalagi jika tidak berdiri di bawah kipas angin—maka pintar-pintarlah berdiri di posisi strategis yang terkena kipas angin. Dengan memberi “tenaga” pada setiap gerakan, terasa kita sedang berolahraga. Bukankah olahraga menyehatkan?

Selalu ada hal positif dari keseharian yang kita jalani, tinggal bagaimana kita cerdas memantaskan diri untuk mendapatkannya.

Selain gerakan, pada tiap jeda salam dua rakaat dan empat rakaat, ada bacaan shalawat kepada Nabi SAW dan Sahabat. Suara yang “dibolehkan keras” dalam pengucapannya ternyata membuat kesyahduan tersendiri. Ada “pelepasan-pelepasan” yang plong terasa setelah mengeluarkan suara di saat jeda itu.

Gerakan cepat dan bacaan shalawat yang keras membentuk harmoni: inilah salah satu cara beribadah di malam hari untuk mengisi ramadhan sesuai perintah agama. Harmoni pada gerakan dan suara. Jika hati turut khsusyuk melafalkan doa dan shalawat, itu lebih baik lagi. Tidak terusik oleh suara petasan dan gaduh anak-anak di belakang shaf.

 

Menunggu sahur. Duren Sawit, Jakarta Timur. 

Sabtu, 14 Agustus 2010.