Teater dan Dongeng, Satu Pendekatan Mendidik Anak
Sudah dibaca 1541 kali
Tiap usai membaca tulisan tentang Farhan yang dibuat istri saya, yang dimuat dalam blognya http://wpurtini.blogspot.com/, selalu terpantik benak saya untuk bertemu dengan anak berusia empat tahun itu dan ayahnya. Sebab, dalam imajinasi saya, Farhan, sesuai dengan yang digambarkan oleh tulisan itu, merupakan anak yang istimewa.
Rupanya Tuhan menjawab hasrat saya. Sabtu lalu, 30 Oktober 2010, di depan ruang mini teater Nurul Fikri Boarding School (NFBS) Serang, Banten, saya bertemu Harun, ayah Farhan. Kami berbincang banyak hal, terutama ihwal Farhan.
Harun tak tahu beberapa kisah Farhan yang diceritakannya kepada istri saya ditulis ulang dan dimuat dalam blog itu. Dan apa yang diceritakannya pada saya tentang Farhan waktu itu kemudian memang sudah ditulis oleh istri saya.
“Apa yang Pak Harun lakukan sehingga Farhan bisa seperti itu?” tanya saya. Ini pertanyaan terpendam yang telah lama saya siapkan.
Teater dan dongeng. Ya, Harun mengenalkan Farhan pada seni teater dan dongeng sejak anak itu berusia dua tahun. Harun memainkan wayang yang terbuat dari kertas seadanya. Tentu saja lakon yang dimainkan tak jauh dari dunia anak-anak. Menjelang tidur, ia mendongengkan Farhan secara ekspresif—menggunakan mimik wajah dan olah tubuh dalam memvisualisasikan apa yang diceritakan.
Harun yang juga guru Bahasa Indonesia di NFBS memiliki keterampilan mendongeng dan teater saat aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater saat kuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kemampuan inilah yang coba ditularkannya ke Farhan dan efeknya mulai kelihatan.
Farhan, akunya, memiliki banyak perbendaharaan kata. Kata-kata yang lazim diucapkan orang dewasa dan jarang terdengar dari ungkapan anak sebayanya. Farhan juga mulai menggambarkan sesuatu yang dilihatnya dengan kata-kata abstrak—anak-anak biasanya mengungkapkan sesuatu dengan kata konkret dan sederhana.
Kepemilikan kata yang kaya memberi Farhan kemahiran dalam mengungkapkan imajinasinya. Ia pun menciptakan karakter imajinatif yang kadang diungkapkan pada Harun.
Satu hal yang menarik adalah kemampuan Farhan dalam bersandiwara, yang kadang membuat Harun tak berkutik. “Anak itu sudah pintar berbohong,” kata Harun. Misalnya, suatu hari, lantaran Harun tidak memenuhi permintaannya, Farhan lari ke arah ibunya dan berkata, “Bu, Farhan ditampar ayah,” sembari memegang pipinya dengan mimik sedih. Harun buru-buru memberi penjelasan lantaran wajah istrinya merona heran.
Harun tak melihat ‘keterampilan’ berbohong Farhan sebagai hal negatif. Sebab, menurut pendapat temannya yang psikolog, kalau anak kecil sudah bisa berbohong tandanya cerdas.
Dalam konteks ini saya setuju dengan pendapat itu. Ketika anak kecil memiliki imajinasi dan mampu mengungkapkannya, bahkan melakukannya dalam bentuk teatrikal (sandiwara), bahkan yang diucapkannya tidak benar, maka anak itu memang cerdas. Persoalannya bukan pada materi ucapannya, melainkan bagaimana cara ia mengungkapkannya.
Anak kecil barangkali masih bingung membedakan mana cerita imajinatifnya yang baik untuk diungkapkan atau sekadar dipendam dalam kepalanya. Maka ketika ia memutuskan untuk mengungkapkannya, lalu menjadikan diri dan orang di sekitarnya sebagai tokoh dalam ceritanya, ia telah melakukan hal terbaik. Apresiasi positif layak diberikan oleh para orangtua.
Apresiasi itu misalnya orang-orang di sekitarnya melakoni tokoh yang diimajinasikan anak tersebut. Situasi yang kemudian terjadi adalah panggung teater dengan imajinasi masing-masing yang menyatu sebagai wadahnya.
Kadang saya melarutkan diri dalam imajinasi beberapa anak balita tetangga saya. Saat Fathir, satu dari mereka, mengandaikan tangannya sebagai pistol dan suara pelurunya keluar dari pita suaranya, menembaki saya, saya mengaduh lalu jatuh. Atau kalau ia memperagakan diri layaknya jawara, saya akan lebih heboh lagi dengan memperagakan jagoan seperti Ultraman. Kalau istri saya melihat saya begini, ia akan tertawa dan menganggap saya lebay (berlebihan).
Kadang hal demikian kurang disadari banyak orangtua. Bagaimanapun anak butuh ‘mitra’ sebagai tokoh-tokoh dalam imajinasinya. Mereka butuh sarana untuk mengungkapkan kata-kata baru yang diserap dari pergaulannya dengan orangtua, teman, bahkan orang-orang tak dikenalnya.
Dengan memberi ruang bagi anak untuk mengungkapkan imajinasi dalam bentuk kata dan gerak, kita turut merangsang otak kanan dan kirinya bekerja maksimal. Imbasnya, akan kita rasakan bersama, anak tersebut memiliki banyak perbendaharaan kata, berani mengomunikasikannya kepada orang lain, dan terpenting, kritis terhadap hal-hal yang tidak diketahuinya. Ia akan bertanya, membenturkannya pada pemahaman berbeda yang dianutnya, dan dengan begitu ia belajar tentang perbedaan. Ya, ia akan menyadari banyak hal baru dan unik tentang objek-subjek di luar dirinya.
Kembali ke cerita Harun dan Farhan. Akhirnya saya pun bertemu Farhan setelah tak sengaja melewati rumahnya. Harun mendemonstrasikan kemampuan Farhan dalam berimajinasi. Ya, Farhan punya cerita tentang raksasa yang memakan Thomas (tokoh fiksinya).
Dari cerita Harun tentang sejumlah kegiatan barunya dengan anak sulungnya itu, saya berkesimpulan bahwa pengalaman Harun bertambah dan mulai menyadari hal-hal kecil yang dilalaikannya namun dianggap unik oleh Farhan. Misalnya, malam-malam, lantaran belum mengantuk, Farhan mengajaknya ‘berburu’ binatang-binatang kecil di dalam tanah dengan lampu senter. Harun jadi tahu serangga dan binatang mini di sekitar rumahnya.
Saat itu saya merasa perlu menanamkan paradigma baru ke Farhan. Ini berangkat dari ceritanya bahwa suatu hari ia tidak menangis saat jatuh. Saya berkata bahwa menangis dan tidak menangis adalah pilihan. Farhan telah memilih tidak menangis usai jatuh meskipun ia merasa sakit. “Jadi nanti kalau Farhan jatuh lagi, pilih untuk tidak menangis ya,” pesan saya. Paradigma ihwal ‘memilih’ bagi saya urgen sebab dengan memegangnya kita selalu diajak untuk menyadari realitas yang kadang tak memberi banyak cara untuk menyikapinya.
Jadi, model pendidikan yang diterapkan Harun pada anaknya, menurut saya, sangat menarik. Bagaimana dengan istrinya? Apa tidak beri kontribusi bagi tindakan-tindakan Farhan? Menurut Harun, sikap Farhan banyak menirunya. Istrinya tidak dominan memengaruhi sikap Farhan. Dalam konteks ini, saya kira, itu tak perlu dipersoalkan. Bagaimanapun, bagi saya, anak berhak memilih mana sikap yang perlu dicontoh dari kedua orangtuanya. Tugas orangtua memberikan contoh-contoh positif saja.
Jakarta, 11 November 2010.
Leave a Reply