Anak TK Belum Bisa Membaca?
Sudah dibaca 400 kali
Seorang ibu menyatakan kekhawatirannya. Anaknya yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) belum bisa baca. Beda dengan teman-teman sebayanya. Ia ingin anaknya diajarkan membaca di TK.
Suara ibu itu mungkin mewakili sebagian orang tua lain yang ada di ruang acara, peserta temu Kepala dan guru TK Negeri Pembina Kota Tangerang dengan orang tua, Sabtu, 27 Juli 2024. Seorang guru TK yang duduk menghadap hadirin menjawab dengan tenang. Katanya, sang ibu tidak perlu khawatir. Ada masanya anak belajar membaca. Tapi bukan di TK. TK hanya mengenalkan kegiatan membaca. Hasil akhirnya bukan anak bisa baca melainkan anak punya kecintaan pada kegiatan membaca.
Persepsi orang tua yang ingin anaknya sudah bisa baca sudah lama terbentuk hingga kini. Hal itu, salah satunya, dulu, dilatarbelakangi oleh kebijakan pengelola Sekolah Dasar (SD) yang melakukan seleksi kemampuan membaca kepada anak saat penerimaan siswa baru. Siswa yang belum atau tidak lancar membaca berada diurutan buncit. Guru kelas I lebih suka anak yang sudah bisa baca agar mereka tak perlu repot mengajarkan anak membaca.
Kondisi ini membuat orang tua siswa tertekan. Mereka balik menekan guru/kepala TK tempat anaknya belajar. Mereka ingin TK mengajarkan kegiatan membaca sehingga mereka bisa baca saat lulus TK. Sebagian guru dan kepala TK menyerah, apalagi TK swasta yang takut kehilangan siswa, mereka mengajarkan kegiatan membaca kepada peserta didiknya.
Sebagian orang tua yang tidak puas dengan layanan TK kemudian “menyekolahkan” anaknya ke lembaga bimbingan belajar (Bimbel) membaca. Uniknya, lembaga Bimbel ini menjamur di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Artinya, banyak orang tua yang khawatir anaknya tidak bisa baca saat usia TK dan “menyekolahkan” anaknya di lembaga Bimbel membaca.
Sebagian orang tua lebih pragmatis. Alih-alih ke TK, mereka memasukkan anak-anaknya ke lembaga Bimbel membaca. “Hemat” biaya daripada “menyekolahkan” anak-anaknya di dua lembaga: TK dan Bimbel.
Kendati Pemerintah sudah lama melarang tes membaca sebagai salah satu kriteria seleksi masuk SD, dan seleksi hanya didasarkan pada usia, namun tak serta merta semua Pemda menjalankan aturan tersebut. Paradigma semakin cepat anak bisa membaca semakin mereka cepat mempelajari banyak hal masih bercokol kuat di kepala. Tak mudah mengubahnya.
Sebagian SD menjalankan aturan itu. Tes membaca dihapus dan guru kelas I rela mengajarkan calistung dari awal. Namun, tetap saja, hingga kini, orang tua tetap kukuh dengan kekhawatirannya. Dan, tentu saja, kekhawatiran ini menebalkan pundi-pundi pengusaha lembaga Bimbel membaca.
Pada 2018, di Kota Padang, Sumatra Barat, seorang kepala SD menyatakan kegelisahannya pada saya. Guru kelas I mengalami kesulitan dalam membelajarkan membaca kepada anak-anak yang sudah bisa membaca. Katanya, pola pikir yang terbentuk dalam kepala anak yang sudah bisa membaca agak sulit menerima pembelajaran membaca yang dilakukan guru. Saya kurang begitu jelas memahami argumen kepala SD ini, namun yang pasti ia tidak terlalu bangga pada anak-anak yang sudah bisa membaca saat baru duduk di bangku kelas I. Sebab, dalam kurikulum, anak diajarkan membaca di kelas I dan II. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Di era kepemimpinan Nadiem Anwar Makarim sendiri, fenomena di dunia pendidikan anak usia dini ini dijawab dengan program transisi PAUD-SD. Dilakukan penyelarasan pemahaman dan kurikulum antara PAUD (termasuk di dalamnya TK) dan SD kelas rendah (kelas I dan II). Dilakukan penegasan kembali bahwa seleksi masuk SD hanya berdasarkan usia anak semata. Tak boleh ada lagi tes baca.
Fenomena ini masih terus terjadi di masyarakat kendati SD negeri tak mengadakan tes membaca. Edukasi terhadap orang tua masih perlu terus dilakukan. Fokus orang tua sebaiknya diarahkan pada bagaimana anak-anak mereka mencintai kegiatan membaca, bukan agar mereka bisa membaca. Anak-anak punya masa perkembangan sendiri di mana mereka, pada satu titik tertentu, akan bisa membaca dengan sedikit bantuan dari orang-orang di sekitarnya.*
Leave a Reply