Spread the love

Sudah dibaca 1352 kali

Manusia Indonesia adalah manusia yang paradoks. Salah satunya tampak pada perilaku sebagian jamaah shalat Jumat. Saya biasa shalat Jumat di Masjid Baitut-Thalibin yang terletak di Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta.

Tiap Jumat, masjid ini dipenuhi jamaah. Bahkan sampai membeludak. Tiga lantai masjid tak mampu menampungnya. Ini terjadi lantaran jamaah tak hanya karyawan Kemdikbud. Pekerja di sekitar Kemdikbud juga shalat di masjid ini, di antaranya Ratu Plaza dan FX Plaza.

Paradoksal terjadi sebelum dan sesudah shalat Jumat. Berikut ini beberapa perilaku yang saya perhatikan langsung.

1. Berbincang saat khatib berkhotbah.

Selain di dalam masjid, aktivitas ini juga dilakukan di luar masjid. Sebagian jamaah di luar masjid berbincang santai sambil merokok. Di dalam masjid, suara percakapan mereka—di lantai dua karena saya biasa shalat di lantai 2—sering terdengar oleh orang-orang di sekitarnya. Saya yakin perbincangan mereka tak terkait persoalan agama atau hal lain yang lebih berbobot ketimbang isi khotbah khatib. Atau yang menunjukkan kedalaman intelektual mereka. Sebab, seorang intelektual akan menghargai orang yang bicara tentang kebaikan dan nasihat-nasihat dengan diam dan mendengarkan khotbah khatib. Atau, jika ia muslim yang baik, akan mengikuti sunnah nabinya yang mengharuskan jamaah shalat Jumat mendengarkan khotbah khatib.

 

2. Tidur.

Sebagian jamaah terutama di bagian belakang menyender dinding sambil tidur dengan kaki selonjor. Jamaah yang datang belakangan dan mencari tempat kosong akhirnya kesulitan berjalan lantaran terhalang kaki mereka. Jika mereka kecapekan, ngantuk dan akhirnya tak bisa menahannya sehingga terlelap tidur, alangkah baiknya mereka duduk bersila agar tak menyulitkan langkah jamaah lain.

Namun saya pernah menemukan fenomena lebih “unik”, tapi di masjid lain. Ini buat saya terheran-heran. Pernah saya shalat Jumat di sebuah masjid seberang Hotel Safari Garden, Puncak, Cipayung, Bogor, Jawa Barat. Di lantai 2, saat khatib berkhutbah, sebagian jamaah tidur dengan kaki bersila dan tubuh berbaring terlentang. Ini menyulitkan jamaah yang belakangan datang. Saat khatib selesai khotbah, mereka bangun seakan tak pernah terjadi apa-apa.

Khotbah dan shalat Jumat dibuat dikotomi. Seakan keduanya tak terkait. Khotbah khatib dianggap tidak penting.

 

3. Main game (permainan)

Saya sangat kaget ketika seorang lelaki muda (sepantaran saya) main game telepon seluler sepanjang khotbah khatib. Itu dimulai saat khatib naik mimbar. Jamaah ini merasa tidak perlu menyimak isi khotbah. Main game dianggap lebih penting ketimbang mendengarkan khotbah. Ia bukan anak-anak. Atau ABG yang bermental labil.

 

4. Buang koran

Lantaran tak dapat tempat di dalam masjid atau di bawah tenda, sebagian jamaah shalat beralaskan kertas koran. Koran digunakan sebagai “sajadah” atau alas sajadah. Usai shalat, koran dibiarkan berserakan begitu saja. Tak dibereskan. Hanya beberapa orang saja yang tampak merapikan dan membuangnya di tempat sampah yang telah disediakan.

Jadilah usai bubar Jumatan, lingkungan sekitar masjid dipenuhi sampah koran. Tak sedap dipandang. Saya yakin mereka melakukan itu dilandasi pengetahuan akan pentingnya menjaga kebersihan. Mereka pun tahu bahwa Islam mengajarkan umatnya agar menjaga kebersihan lingkungan. Namun mereka dengan penuh kesadaran memilih untuk tetap nyampah. Memilih untuk mendikotomikan antara ajaran agama untuk menjaga kebersihan dan perilaku keseharian. Memutuskan untuk menunda melakukan ajaran agama yang sangat mudah: membuang sampah di tempat sampah. Ajaran yang juga puluhan tahun didapatnya di bangku sekolah.

 

5. Merokok

Beberapa orang merokok di tengah kumpulan jamaah yang kembali ke tempat kerja masing-masing. Asapnya menyebar ke mana-mana. Saya yakin mereka tahu akan bahaya asap rokok, terutama kepada perokok pasif. Saya pun yakin mereka tahu bahwa Islam mengajarkan bahwa muslim yang baik di manapun berada seharusnya membuat orang di sekitarnya aman dan nyaman.

Namun mereka dengan penuh kesadaran memutuskan untuk tidak peduli pada hal-hal demikian. Mungkin mereka beranggapan merokok di tengah kerumunan orang tampak jantan, hebat, dan keren. Atau setidaknya dirinya merasakan sendiri hal tersebut. Anggapan itu menutup mata batinnya bahwa sebenarnya orang-orang yang ditindas hak asasinya untuk menghirup udara segar dan bebas dari bahaya asap rokok merasa tidak nyaman bahkan mencacinya dalam hati. Tak ada respon positif bagi orang-orang yang merugikan orang lain.

Shalat Jumat, akhirnya, bagi sebagian jamaah, jadi sekadar ritual belaka. Tak ada pengaruh terhadap perilakunya. Barangkali shalat hanya untuk menggugurkan kewajiban. Shalat tidak shalat, sama saja.

Hal itu, barangkali, masih bisa ditoleransi jika tak merugikan orang lain. Namun ketidakpedulian itu berimbas sebaliknya. Orang bisa saja beranggapan, lebih baik mereka (orang yang merugian pihak lain) tak ada di dekatnya. Tak peduli mereka mau shalat atau beragama Islam.

Inilah paradoksal. Dan ini terjadi di mana-mana. Tak cuma di Baitut-Thalibin saja. Di mana-mana.*

 

Tangerang, Banten. 24 Mei 2013. 22.32 WIB