Spread the love

Sudah dibaca 581 kali

(Ki-ka) Asep Ropiudin, Sofie Dewayani, dan Tati Wardi dalam peluncuran dan bedah buku Putri, Angpau, dan Topi Duka. Foto: Billy Antoro

Peluncuran dan diskusi buku berjudul Putri, Angpau, dan Topi Duka di Jusuf Kalla Library Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada Jumat siang (28/2/2025) sangat menarik. Kedua penulisnya, Sofie Dewayani dan Tati Wardi, menguraikan sejumlah temuan mereka terhadap tiga guru yang memanfaatkan buku anak dalam kegiatan di kelas.

Di antara materi diskusi yang dibahas dan menurut saya menarik adalah tentang cara orang tua membacakan buku kepada anak. Ini sebenarnya pertanyaan saya kepada mereka di sesi tanya-jawab. Dalam pengamatan saya terhadap sejumlah orang tua yang membacakan buku (read aloud) di TK Negeri Pembina Akhlaqul Karimah Kota Tangerang, tampak bahwa muatan nasihat dan pesan kebaikan begitu massif disampaikan kepada siswa. Bahkan di luar materi yang dibahas dalam buku yang sedang dibacakan. Kadang, bahkan saat sedang membahas sampul buku, pesan-pesan kebaikan dan nasihat agar jadi anak yang baik begitu deras dan memakan porsi waktu yang lumayan banyak.

Pesan dan nasihat memang baik, namun jika disampaikan secara berlebihan tampak seperti pelajaran moral. Melebihi porsi guru.

Ini poin yang hendak saya lontarkan: meskipun bukunya bagus tetapi jika cara penyampaiannya tidak tepat, maka kegiatan membaca nyaring tidak akan menyenangkan bagi anak. Seperti tadi saya sampaikan, seperti pelajaran moral atau agama.

Namun bukan teknis pelaksanaan membaca nyaring yang hendak saya soroti, melainkan cara orang dewasa menyampaikan dogma tentang “kebenaran” kepada anak yang masih belum beranjak dari cara-cara lama: membosankan dan terkesan menggurui. Saya agak khawatir ada guru yang juga melakukannya. Guru yang menggurui.

 

Dialog

Sofie Dewayani menjawab pertanyaan itu dengan sangat elegan: dialog. Dialog menjadi kata kunci bagi orang dewasa dalam berinteraksi dengan anak. Buku diletakkan sebagai alat atau sarana bagi orang dewasa untuk menjalin dialog dengan anak.

Dalam buku, ada tokoh yang berdialog dengan tokoh lainnya. Dialog yang setara. Melalui situasi yang tercipta dalam buku, orang dewasa mengantarkan dialog tokoh-tokoh dalam buku menjadi dialog antara dirinya dan anak-anak yang menyimak membaca nyaring.

Oleh karena itu ada yang namanya pertanyaan pemantik. Bagaimana orang dewasa melontarkan pertanyaan dari situasi buku menjadi dialog antara dirinya dan anak. Tujuan dialog bukanlah agar anak mendengarkan nasihat dan “perkataan benar” dari orang dewasa, melainkan agar anak mengutarakan isi kepalanya: rasa penasaran, keinginan menyampaikan pendapat, memprediksi jalannya cerita.

Tati Wardi, dosen UIII, melengkapi jawaban dengan mengutarakan hasil penelitiannya. Dalam penelitian itu, Tati menemukan banyak guru tidak sabar untuk menunggu respon dari pertanyaannya. “Guru sendiri yang menjawab pertanyaannya,” katanya. Guru tidak paham bahwa suara anak itu penting. “Anak punya suara genuin,” tambah Tati.

Di sinilah membaca nyaring mendapatkan maknanya. Bagaimana guru memberi ruang bagi anak untuk menyampaikan suaranya dalam bingkai cerita buku. “Buku memberi ruang bagi anak untuk memaknai nilai dalam buku,” tegasnya.

 

Hasil Penelitian Jadi Buku Populer

Pada dasarnya buku yang diluncurkan dan dibedah oleh kedua penulis plus sang editor Asep Ropiudin adalah hasil penelitian—dua peneliti lainnya yang juga penulis buku yaitu Firman Parlindungan dan Sary Silvhiany. Mereka meneliti pemanfaatan buku fiksi nonteks pelajaran dalam kegiatan pembelajaran oleh tiga guru di tiga daerah: Nadya, Irsa, dan Yadi.

Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa buku-buku nonteks pelajaran bertema gender, disabilitas, dan keberagaman dapat membentuk siswa yang berpikir kritis, peka sosial, dan berwawasan luas. Para peneliti menganalisis perilaku guru dan siswa dalam aktivitas pembelajaran dan melengkapinya dengan teori-teori literasi.

Yang unik dari buku ini adalah penyajiannya. Kendati merupakan hasil penelitian, buku ini ditulis dengan bahasa populer sehingga mudah dicerna terutama oleh guru. Guru dapat menggunakan buku ini sebagai referensi dan refleksi bagi proses pembelajaran yang dijalankannya. Dikemas kurang dari 100 halaman, kredibilitas keempat penulis yang tak diragukan lagi di dunia pendidikan, literasi, dan bahasa, membuat buku ini sebagai referensi penting bagi pembelajaran berbasis literasi. Selamat membaca!

 

Kami sempat berfoto usai acara dengan para narasumber dan moderator.