Spread the love

Sudah dibaca 68 kali

Ilustrasi siswa-siswi belajar membaca. Foto: Pixabay.com

Dalam sejumlah kegiatan bimbingan teknis (Bimtek) literasi, baik jenjang SD maupun SMP, saya bertanya kepada para guru mengenai keberadaan siswa yang belum lancar membaca. Umumnya mereka mengakui ada sejumlah siswa yang ketahuan belum lancar membaca. Kadang pengakuan ini diikuti dengan raut wajah ragu karena khawatir disangka tak mampu mengajar siswa.

Di sejumlah daerah, saya mendapati fenomena yang menggelisahkan. Saat mengisi Bimtek di Timika, kabupaten terkaya se-Indonesia karena di tanahnya bersemayam cadagangan emas dan tembaga terbesar di dunia yang dikelola oleh PT. Freeport Indonesia (perusahaan tambang asal Amerika Serikat), saya mendapat cerita yang sangat mengganggu. Kepala dinas pendidikan dan guru-guru mengungkap fenomena bahwa banyak siswa SMA, SMP, dan SD yang belum lancar membaca. Bahkan buku bacaan sulit di dapat.

Di Mamuju, seorang kepala SMP bercerita bahwa 31 siswa kelas IX belum lancar membaca. Ia sendiri yang baru menjabat kepala sekolah kaget dan bertanya-tanya. Ke-31 siswa kemudian dikumpulkan dan mengikuti jam tambahan membaca.

Di Jakarta, seorang guru SMK dari Kabupaten Karawang menyampaikan keprihatinannya karena beberapa siswanya tidak lancar membaca. Ia selalu menyempatkan datang ke rumah mereka dan memberi jam tambahan belajar.

Media massa, baik televisi maupun media sosial, akhir-akhir ini, banyak mengungkap fenomena siswa di berbagai jenjang pendidikan belum lancar membaca (baca: Viral Puluhan Siswa SMP Belum Bisa Baca, Pengamat: Kurikulum Belum Sesuai Harapan). Umumnya mereka, para jurnalis itu, mengutip para pengamat atau pakar pendidikan, mempertanyakan proses pendidikan yang berjalan, kurikulum, hingga kompetensi guru sehingga menyisakan siswa yang belum lancar membaca. Namun, pertanyaan itu sering sengaja dimunculkan tanpa berusaha mengungkap sebab sebenarnya. Akhirnya timbul kesan bahwa kondisi tersebut semata kesalahan sekolah. Guru dipandang tidak cakap mengajarkan cara membaca kepada siswa. Padahal, kalau ditilik lebih dalam, ada faktor lain di luar sekolah yang menjadi penyebab utama siswa belum lancar membaca. Hal ini akan saya bahas di tulisan berikutnya.

Memang suatu keharusan bagi guru untuk memastikan bahwa siswa tidak tertinggal pelajaran. Salah satu indikatornya adalah kemampuan siswa dalam membaca. Kalau siswa masih kesulitan membaca, mereka akan sulit pula memami materi pelajaran.

Lalu bagaimana mengetahui siswa belum bisa atau lancar membaca? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan.

Melakukan Asesmen Awal

Asesmen awal penting dilakukan untuk memetakan kompetensi siswa. Hal ini sebaiknya diadakan di awal kenaikan jenjang. Guru dapat menggunakan instrumen Early Grade Reading Assessment (EGRA) untuk mengetahui kompetensi membaca siswa (tonton: Melaksanakan Asesmen Membaca Adaptasi EGRA). Instrumen ini berupa lembar kertas berisi rangkaian huruf, kata, dan kalimat untuk diujikan kepada siswa. Memang butuh waktu saat melakukan asesmen individual kepada tiap siswa yang dirasa belum lancar membaca, namun hasilnya lebih akurat.

Dalam Kegiatan Pembelajaran

Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam membaca dapat pula dilakukan melalui kegiatan pembelajaran. Guru, misalnya, meminta siswa untuk membaca suatu teks bacaan. Siswa yang kesulitan membaca, seperti terbata-bata atau salah eja, dapat dipastikan belum lancar membaca.

Dalam Kegiatan Membaca

Kegiatan membaca yang dimaksud di antaranya adalah ketika guru melakukan membaca nyaring (read aloud) (tonton: Apa Itu Membaca Nyaring). Meskipun tujuan kegiatan ini adalah untuk kesenangan, guru dapat menyisipkan momen di mana ia minta siswa untuk membaca kata atau kalimat yang ditunjuk. Siswa yang kaget atau gelagapan lalu membaca dengan terbata-bata dipastikan belum lancar membaca.

Setelah tahu ada siswa belum lancar membaca, lalu apa yang perlu dilakukan? Setidaknya ada dua langkah yang bisa dilaksanakan.

Memberi Materi Tambahan

Maksudnya materi tentang cara membaca. Jika guru menggunakan tes EGRA, hasilnya akan segera diketahui pada titik mana kelemahan siswa dalam membaca: apakah sulit membaca/merangkai kata, sulit mengeja suku kata, atau belum hafal huruf. Guru bisa langsung memberi penguatan pada kelemahan yang dialami siswa.

Materi tambahan bisa diberikan setelah jam pulang sekolah. Siswa-siswi yang belum lancar membaca dikumpulkan di satu ruangan lalu diberi pelajaran tambahan. Guru perlu menciptakan suasana yang menyenangkan dan santai agar siswa tidak merasa minder dan terintimidasi. Bagaimanapun, rendahnya kemampuan seorang siswa dibandingkan dengan rekan-rekan yang lain sudah merupakan beban berat yang ditanggungnya.

Dengan memberikan perhatian khusus dan kesabaran ekstra, lambat laun siswa akan lancar membaca. Mereka hanya perlu waktu dan kesabaran kita.

Penguatan dalam Pembelajaran

Strategi lainnya adalah memberi penguatan dalam kegiatan pembelajaran. Siswa yang kurang lancar membaca dikelompokkan dengan siswa yang sudah mahir membaca. Diharapkan siswa yang sudah mahir membaca membantu rekan yang belum lancar membaca melalui aktivitas pembelajaran. Belajar pada teman sebaya akan mendukung siswa bersangkutan untuk memacu diri lebih baik.

Guru dapat menggunakan metode lain yang relevan dengan kebutuhan dan kondisi tiap siswa. Faktor-faktor lain di luar pembelajaran, misalnya kegiatan siswa usai pulang sekolah, dukungan orang tua, dan lingkungan masayarakat perlu jadi pertimbangan guru. Bagaimanapun, di abad informasi ini, dapat membaca adalah hak setiap anak. Semua pihak, mulai orang tua, sekolah, pemerintah, hingga masyarakat berkewajiban memenuhi hak tersebut. Kita semua harus melakukan refleksi bersama (baca: Literasi Membaca, Sejauh Mana Kompetensi Siswa-Siswi Kita?)*