Agar Siswa Tidak Tertipu Hoaks, Ini yang Diajarkan di Singapura
Sudah dibaca 273 kali

Agar tidak termakan hoaks, siswa perlu memiliki keterampilan membedakan informasi secara sistematis. Guru berperan penting dalam hal ini.
Arus informasi yang deras mengguyur media sosial disusupi banyak sekali informasi keliru alias hoaks. Informasi itu tak selalu 100% palsu atau bohong. Sering hoaks dicampur dengan berita faktual sehingga orang sulit menyortir kadar kebenarannya. Apalagi jika ucapan tokoh, ahli, atau ulama turut dikutip, kita jadi agak sulit untuk tidak memercayainya.
Lalu bagaimana mengenali hoaks dan terhindar dari dampak negatifnya? Ada baiknya kita belajar dari Singapura. Di Singapura, anak-anak dibekali kemampuan mengenali hoaks sejak usia dini.
Dalam sebuah gelar wicara yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Jakarta, Sabtu (12/10/2024), Dr. Willy A. Ranindya, dosen National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan keterampilan mengenali dan menyikapi hoaks di sekolah Singapura diramu dengan akronim SURE: Source, Understand, Research, Evaluate.
Source
Hal pertama yang harus diketahui dari sebuah informasi adalah asal atau sumber informasi tersebut. Apakah informasi yang diterima berasal dari sumber resmi? Siapa pengirimnya? Apakah dapat dipercaya?
Siswa diberi tahu cara mudah mengetahui sumber resmi, yaitu dengan mengaitkan konten dengan lembaga yang berwenang. Misalnya informasi tentang kesehatan dan dunia medis. Lembaga yang berwenang mengeluarkan informasi tersebut adalah kementerian kesehatan, organisasi profesi kedokteran, atau rumah sakit. Minimal dokter spesialis.
Jika sumber informasi tidak diketahui, atau berasal dari pihak yang kredibilitasnya diragukan, jangan memercayai informasi itu. Lebih baik baca informasi lain dari sumber terpercaya daripada membaca informasi yang tak jelas asal-usulnya. Menghabiskan waktu saja.
Understand
Sesudah memastikan infomasi berasal dari sumber resmi dan terpercaya, langkah berikutnya adalah memahami informasi tersebut. Apakah informasi yang disampaikan didukung oleh argumen dan fakta yang akurat? Kita akan lebih mudah percaya jika suatu informasi didukung oleh fakta dan data, atau berasal dari sumber yang kredibel.
Sering ditemui informasi hanya menyajikan peristiwa faktual yang kemudian ditambahkan dengan opini penyebarnya. Opini tersebut tentu sangat subjektif dan dari satu sudut pandang. Meskipun percaya pada peristiwa faktual yang disebarkan, kita tidak bisa serta merta memercayai opini yang menyertainya. Sebab, opini selalu mewakili kepentingan pihak tertentu, setidaknya untuk memengaruhi orang lain untuk menyetujui pandangannya. Jika tidak dipahami secara benar dan langsung percaya begitu saja, dengan mudah persepsi kita diarahkan oleh orang lain untuk menyetujui atau mendukung agenda tertentu.
Research
Salah satu cara untuk memahami peristiwa dan opini tertentu secara utuh adalah dengan mencari pembandingnya. Jika didukung oleh 2 atau 3 orang lain, bisa jadi informasi dan opini itu benar. Jika tak ada informasi pendukungnya, kita boleh meragukan informasi yang dibungkus opini itu.
Informasi pembanding bisa diperoleh dari aktivitas meramban informasi dengan mesin pencari atau artificial intelligence (AI). Bisa pula dengan mencarinya di buku koleksi perpustakaan. Atau bertanya dan berdiskusi dengan guru, teman, atau ahli tertentu.
Kemampuan untuk meneliti suatu informasi kepada siswa perlu dikenalkan oleh guru atau pustakawan. Guru atau pustakawan menjelaskan langkah-langkah menemukenali suatu informasi. Bisa jadi guru dan pustakawan menggunakan aplikasi atau fitur tertentu yang mudah digunakan oleh siswa.
Evaluate
Setelah memastikan sumbernya terpercaya, memahami isinya dengan benar, dan didukung oleh informasi lain yang relevan, siswa juga perlu mengevaluasi informasi sebelum memercayai dan meneruskannya kepada orang lain. Pada titik ini, guru mengenalkan etika kepada siswa. Etika selalu menjadi pertimbangan terbaik apakah meneruskan informasi atau cukup sampai dirinya saja yang tahu.
Siswa juga perlu dikenalkan dengan konsekuensi. Penyebaran informasi ke media sosial pasti mengundang reaksi dari orang lain. Mereka akan menyampaikan komentar. Problemnya, komentar itu tak selalu bernada positif. Bisa jadi malah mempertanyakan, menyanggah, atau menganggapnya hoaks. Siswa perlu diberi kemampuan untuk mengolah emosi agar tidak mudah terpancing oleh komentar-komentar negatif dan perundungan (bully).
Siswa juga perlu diajak untuk memikirkan konsekuensi dari penyebaran suatu informasi. Bisa jadi informasi yang disebarkan benar, sesuai fakta. Namun, siswa pun perlu diajari untuk berempati. Pertanyaan tentang empati bisa diajukan: bagaimana perasaan orang yang membaca informasi berikut ini, apakah ada yang tersinggung, merasa dilecehkan, atau biasa saja?
Bagaimanapun siswa perlu dibekalkan kemampuan untuk membedakan berita hoaks atau bukan. Kemampuan ini harus terus dilatih, baik di dalam maupun di luar kegiatan pembelajaran. Guru dapat bekerja sama atau berkolaborasi dengan pihak lain untuk menciptakan pembiasaan di sekolah.
Terlebih pada beberapa tahun ini banyak sekali siswa Indonesia yang terjebak dalam kubangan perjudian online (daring) (baca: Pelajar Pemain Judi Online Sebaiknya Dikeluarkan?). Tak hanya siswa, bahkan orang tua, mahasiswa, hingga pejabat negeri ini banyak yang kepincut dalam permainan haram itu. Padahal dengan bermain judi online, mereka dijamin kalah dan bangkrut.
Pengenalan pada permainan judi online ini dilakukan oleh para kreator melalui game online dan influencer yang mendapatkan cuan dari bandar judi. Iklannya muncul tiap hari di beragam media sosial. Parahnya, kekuatan bandar judi online ini ditopang oleh sejumlah pegawai yang bekerja di Kementerian Komunikasi dan Informasi (sekarang Kementerian Komunikasi dan Digital) yang alih-alih memberantas judi online malah melestarikan keberadaannya dengan memeras para bandarnya (baca: Kasus Judi Online Pegawai Komdigi: 24 Tersangka Ditangkap, 4 Buron).
Pemerintah Indonesia perlu belajar pada Singapura terkait edukasi terhadap hoaks. Tak terkecuali pada konten pembelajaran di sekolah. Beragam praktik baik di Singapura dapat diterapkan di Indonesia. Tentu tidak mentah-mentah kita telan. Perlu adaptasi dan penyesuaian dengan budaya, kebiasaan, dan kebutuhan siswa-siswi kita.
Agar siswa tidak tertipu hoaks, apa yang sudah Anda (guru, kepala sekolah, dan pengawas) lakukan di sekolah?*
Leave a Reply