Spread the love

Sudah dibaca 149 kali

Saya beli buku tak sekadar untuk memahami isinya. Saya beli buku juga untuk mempelajari cara penulis menuliskan isi pikirannya. Caranya menuangkan gagasan disertai data memadai dan analisis tajamnya. Sebab, tulisan yang bagus dan enak dibaca biasanya terpola. Pola itulah yang ingin saya pelajari.

Dulu, saat bergiat di pers kampus, saya selalu membayangkan proses yang dilakukan wartawan sehingga menghasilkan berita yang bagus. Bagaimana mereka mengorek keterangan narasumber agar mau bicara terbuka, bagaimana mencatat detail suasana, atau bagaimana menarik kesimpulan dari hasil wawancara, observasi, dan riset mendalam. Ada metode jurnalistik yang konsisten dipakai untuk mendapatkan berita yang utuh dan berkualitas.

Rata-rata, buku laris (best seller) ditulis dalam bentuk bercerita (naratif/storytelling). Tak sekadar menyuguhkan teori dan opini penulis semata. Ada data, analisis, hasil penelitian, dan cerita orang. Semua dirangkai dalam bentuk uraian menarik dan sederhana.

Dalam buku “Kisah Menulis Storytelling Secara Kesastraan” karya Prof. Septiawan Santana Kurnia (Penerbit Obor, 2024) yang kelar saya baca Februari 2025 lalu, diceritakan bahwa banyak wartawan di Amerika Serikat pada tahun 60-an dan 70-an berlomba-lomba menulis berita dengan gaya novel/cerpen. Tulisannya jadi enak dibaca. Pernah baca In Cold Blood karya Truman Capote dan All the President’s Men karya Bob Woodward dan Carl Bernstein? Itu salah dua contoh buku karya jurnalistik yang ditulis dengan gaya novel. Keduanya sudah difilmkan dan diterbitkan dalam edisi Indonesia.

Nah, kali ini saya beli buku Outliers, Rahasia di Balik Kesuksesan karya Malcolm Gladwell karena memang ingin mempelajari cara menulis naratifnya. Bagaimana ia bisa menulis dengan cerita faktual yang panjang, detail, dan enak dibaca? Tentu saja perlu kemampuan mumpuni yang tak biasa. Ya, semua itu bisa dilakukan dengan riset panjang, observasi, dan wawancara mendalam. Dengan latar belakang jurnalistik, penulis asal Kanada dan kelahiran Inggris 1963 itu tentu dapat melakukannya dengan baik. Ya, gelar sarjananya di bidang sejarah diraihnya di University of Toronto pada 1984. Orang sejarah punya metode dan pisau analisis tajam secara akademis untuk mengungkap suatu fakta. Ia juga pernah menjadi reporter di koran The Washington Post pada 1987 hingga 1996. Sejak 1996, ia menjadi staff writer pada majalah The New Yorker.

Kedua media tersebut punya reputasi yang bagus dalam sejarah penulisan jurnalisme naratif—di Amerika Serikat disebut New Journalism dan di Indonesia disebut Jurnalisme Sastrawi. Skandal Watergate yang ditulis oleh Bob Woodward dan Carl Bernstein, yang kemudian memaksa Presiden Richard Nixon untuk turun dari jabatannya pada 8 Agustus 1974, dimuat di koran The Washington Post. Sementara peliputan peristiwa penjatuhan bom atom di Hiroshima, Jepang, pada 6 Agustus 1945 yang menewaskan sekitar 140 ribu orang, yang ditulis oleh John Hersey, dimuat di majalah The New Yorker pada 1946.

Malcolm Gladwell memberi saya semangat untuk kembali belajar dan mendalami penulisan jurnalisme sastrawi yang dulu pernah saya ikuti saat bergiat di pers kampus. Jadi, tak sekadar isinya, cara menulisnya pun perlu dipelajari. Selamat membaca!*