Spread the love

Sudah dibaca 207 kali

Seekor buaya sedang santai di dalam kandang di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Foto: Billy

 

Sabtu sore, 11 Mei 2025, kami berpisah. Saya mencari gajah, putri saya mencari ular. Suasana Taman Margasatwa Ragunan di Jakarta Selatan mendung. Angin bertiup agak kencang. Gerimis turun sebentar. Petunjuk arah tak benar-benar membantu. Penelusuran tak selalu berakhir penemuan binatang yang diburu.

Tak semua binatang mudah diburu. Ada yang sedang tidur dan bersembunyi di dalam kandang. Beberapa binatang sulit dilihat karena kaca penutup kandang berembun.

Karena sore sudah tiba, kami memutuskan mengakhiri perburuan. Zebra lolos. Tak ketahuan di mana rimbanya. Binatang buruan lainnya berhasil kami potret. Hujan benar-benar turun. Kami berteduh di dekat akuarium ikan. Setelah itu kami pulang.

Sebenarnya tak semua binatang yang kami cari ada di Taman Margasatwa itu. Sehari sebelum ke tempat itu, kami berburu ulat, tikus, dan kambing. Kami bertiga, bersama si bungsu, pergi ke sawah dekat rumah. Berharap di sana bertemu ulat, tikus, kambing, ular, dan binatang lain yang telah terdaftar dalam Jaring-jaring Makanan di secarik kertas. Nihil. Tak satupun berhasil kami temui. Ketemu kadal di tempat sampah, tetapi kadal tak masuk dalam Jaring Makanan itu.

Kami menyusuri got dan tempat sampah, tak satupun tikus terlihat. Ke mana mereka? Saat tak dicari, mereka seperti ada di mana-mana. Saat dicari seperti ini, mereka seolah pergi jauh piknik ke Puncak.

Apalagi kambing. Biasanya ada di sawah atau jalan-jalan ke kompleks perumahan. Kami susuri kok tidak ketemu? Kami meluncur ke perkampungan menuju Situ Cipondoh, Tangerang, yang dulu tanah lapang dan jalan umumnya dilintasi gerombolan kambing. Nihil. Si bungsu yang duduk di bagian depan sepeda motor mulai mengeluh. Pegal, terlalu jauh dari rumah. Setelah menyusuri jalan raya, akhirnya kami menemukan kambing: di tempat penjualan kambing dan sapi di pinggir jalan. Momen Iduladha sangat membantu.

 

Apa Asyiknya Belajar?

Awalnya saya berpikir mungkin gurunya pengin menantang murid-murid untuk mencari daftar binatang di sekitar rumah. Apa iya semua murid diharuskan pergi ke kebun binatang? Kenyataannya, putri saya dan teman-temannya pergi ke tempat itu.

Pertanyaan kedua yang sempat menggelayut di kepala: kenapa tugas yang diberikan tidak dilakukan secara berkelompok, sebaliknya individual? Saya kira lebih asyik jika tugas itu dilakukan secara berkelompok. Banyak manfaat penugasan kelompok dibandingkan individual.

Pertanyaan terakhir diajukan usai putri saya mengumpulkan tugas: apa ada pembahasan setelah tugas dikumpulkan? Jawabannya membuat saya kaget: tidak ada. Bahkan tidak ada tanya-jawab sama sekali.

Jadi apa asyiknya belajar biologi kalau begitu? Jelas sekali pembelajaran diarahkan berorientasi pada hasil, bukan proses. Sangat menarik jika guru mengalokasikan satu pertemuan untuk membahas proses murid mengerjakan tugas. Apa tantangannya? Apa kendala dan solusinya?

Akhirnya saya bertanya padanya: sebelum guru memberi tugas, apa yang dia lakukan? Menurut putri saya, guru menggunakan lembar Power Point (PPT) yang disorot proyektor untuk menjelaskan materi. Saya makin penasaran: apa ada referensi lain yang diberikan di PPT itu, misalnya buku atau jurnal? Katanya, tidak ada.

Jadi, pada pelajaran biologi itu, guru menjadikan dirinya sebagai sumber utama pembelajaran!

Padahal saya berharap, saat menjelaskan materi pelajaran, guru menggunakan video, buku nonteks pelajaran, atau bahan teks multimodal lainnya sebagai penunjang pembelajaran. Untuk memudahkan murid memahami Jaring-jaring Makanan. Sangat disayangkan jika guru menjadikan dirinya sebagai sumber informasi satu-satunya. Okelah ada penugasan yang memaksa siswa kelayapan di kebun binatang, tapi hargailah jerih payah mereka dengan membahas proses mereka belajar.

Saya masih khawatir dengan cara guru membelajarkan murid-muridnya. Khawatir pada kebenaran kritik-kritik yang dilontarkan para ahli pendidikan, di antaranya: sekolah mengungkung kreativitas murid, sekolah membuat murid terasing dari lingkungannya, sekolah membuat murid malas belajar. Tapi tak semua guru seperti itu. Problemnya, bagaimana menemukan mereka?*